◙
PENGERTIAN FANA DAN BAKA
Ketika
seseorang berada dalam tahap puncak pendakian spiritualnya adalah
masuk ke alam “Fana dan Baka”. Dan hal ini dijelaskan oleh Syekh
Malaya / Sunan Kalijaga. Dia memaparkan pengetahuannya : Hendaknya
waspada pada yang berikut ini. Jangan ragu-ragu. Lihatlah Tuhan
secara jelas! Tapi, bagaimana melihat-Nya? Karena Tuhan itu tidak
memiliki rupa. Tuhan tidak berarah dan tidak berwarna. Tidak ada
wujud-Nya. Tidak terikat oleh waktu dan tempat. Sebenarnya Ada-Nya
itu tiada. Seandainya Dia tidak ada, maka alam raya ini kosong dan
tak ada wujudnya.
Dan
tatkala sesorang ber-Dzikir atau ber-Tafakur [dalam salat] sudah
sangat khusyu/intens, segala rupa yang muncul harus di lewatinya.
Semua yang muncul itu hanyalah ilusi. Bayangan ke-Diri-an akan
muncul. Seperti munculnya malaikat gunung yang menawarkan diri kepada
Nabi Muhammad sehabis beliau dianiaya orang-orang Thaif. Nabi menolak
pertolongannya. Justru beliau berdoa agar masyarakat Thaif diberi
petunjuk.
Meskipun
seorang mediator sudah bisa melewati berbagai godaan dan gangguan.
Bisa melewati berbagai pesona. Bisa meninggalkan ajakan dari
mereka-mereka yang menampakkan diri sebagai sanak saudara dan
orang-orang lain yang telah meninggal. Bisa mengabaikan orang-orang
yang tak dikenal dan menawarkan jasa. Tetapi, belum tentu mampu
meloloskan diri dari jeratan Artadaya. Sang Artadaya ini menutupi
Diri Sejati. Dia unjuk kekuatan. Dia pamer kekuasaan. Dia menawarkan
kepada sang pendaki spiritual : “Apa yang kau minta? Apakah kau
minta berlian-sambil menunjukan berlian dihadapan orang yang berzikir
itu bagaikan butiran-butiran jagung? Apakah kau ingin menguasai
itu-sambil menunjukan daerah kekuasaan? Tetapi, seorang pe-zikir yang
tawakal, tak tertarik berbagai iming-iming. Seorang pe-zikir akan
terus melanjutkan pendakiannya. Mendaki sendiri. Karena pada akhirnya
pengiring kita pun tak mampu. Semua malaikat tak mampu mengiringi
perjalanan sang pendaki. Malaikat Jibril pun tak mampu. Semua saudara
gaib kita juga tak mampu. Hanya Tuhan yang membimbingnya. Dengan
demikian apa yang diungkapkan Syekh Malaya [Sunan Kalijaga] yang
meminta sang pe-zikir untuk melihat Tuhan dengan jelas. Terang. Tanpa
samara-samar! Harus yakin tanpa keraguan sekecil apapun. Dengan cara
ini sang pe-zikir akan sampai di puncak Ma’rifat.
Bagaimana
cara melihat-Nya? Bukankah Tuhan itu tidak memiliki rupa. tidak ada
arah dan warna-Nya. Bukankah Dia Tidak ada wujud-Nya. Tidak terikat
oleh waktu dan tempat. Lalu, apa yang harus dilihat? Itulah
ke-Fana-an! Fana bukanlah kesadaran tentang tiada. Fana bukanlah
perasaan bahwa kita telah sampai di keadaan Fana. Fana bukanlah
terciptanya konsentrasi / ke-khusyuan. Fana bukanlah perasaan bahwa
kita merasa hilang. Fana bukanlah kita merasa tidak melihat apa-apa.
Lalu, apa yang dimaksud Fana oleh orang-orang Sufi itu? Dalam serat
Syekh Malaya tersebut di ungkapkannya bahwa jika Dia tidak ada
maka kosonglah semesta raya ini. Apa yang disebut dalam serat itu
merupakan bagian dari pembahasan para Wali tentang Ma’rifat.
Tentunya itu bukan kalimat biasa. Dalam bahasa kata, pengetahuan
tingkat tinggi itu tidak berbeda dengan pengetahuan orang awam.
Itulah keterbatasan kata! Amat sulit mengungkapkan pengalaman
spiritual dengan kata-kata. Karena melibatkan pengalaman batin.
Tak
ada kata buat mendefinisikan kata Fana. Tak ada kata untuk batasan
bagi Fana. Secara kata, Fana itu artinya lenyap. Hilang. Siapa yang
hilang disitu? Apa kita menjadi hilang sehingga tak bisa dilihat
orang lain ketika ber-zikir? Atau ada perasaan bahwa kita ini hilang
tatkala ber-zikir?
Jawabannya
bukan seperti itu. Kita tetap bisa dilihat orang ketika ber-zikir.
Kita pun ada dalam kesadaran. Pada saat kita mengalami Fana, kita
tidak tidur. Kita tidak mengantuk. Sehingga zikir kita tetap teguh,
tidak berubah. Pada saat Fana itu, kita seperti orang yang tidur
nyenyak-tapi nyatanya tidak tidur. Seperti tidur nyenyak yang tidak
merasakan apa-apa. Tidak ada mimpi meski sekelebatan. Tidak ada
kilatan apa-apa. Tidak ada kesadaran maupun ketidak sadaran.
Keadaannya blanko! Kosong, tiada goresan. Tidak ada perasaan bahwa
saya ini hamba dan yang dihadapi itu Tuhan. Itulah Fana! Ya, memang
seperti orang tidur pulas tanpa sebuah impian.
Dus,
yang membedakan antara orang yang ber-zikir [khusyu] dan orang yang
tidur pulas itu keadaannya. Jika orang tidur, meski posisi awalnya
duduk, badannya akan roboh ketika tertidur atau terkantuk. Kalau ia
terlentang, maka dengus nafasnya ya sama dengan orang tidur.
Dengusnya kasar. Bunyi napas orang tidur itu kasar. Sedangkan bunyi
napas orang yang ber-zikir itu tidak terdengar. Seolah-olah tidak
bernapas. Seorang ahli ma’rifat mereka berujar : KULLU NAFSIN
ARIFIN KHOIRUN MIN IBADATI SAB’I’YAN SANATAN MIN KHOIRI AARIFIN
(Artinya : Setiap nafas seorang yang ‘Arif Billah, lebih
berharga dari 70 tahun ibadat orang yang bukan ‘Arif [awam] ).
Yang berarti Nafas seorang yang mengerti dan sadar terhadap diri dan
kediriannya (khuluk), nafas yang memanfaatkan hidup dan kehidupannya
untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan serta alam lingkungan
(khalaq), nafas cinta kasih yang tenggelam dan sirna (Fana) dalam
buaian cinta kasih Allah Yang Maha Pengasih (kholik). Bukan seperti
nafasnya seorang yang hanya untuk dirinya sendiri dan karena
dirinya sendiri yang penuh kesombongan diri, melibatkan diri dalam
kebohongan dunia, meskipun ibadatnya 70 tahun.
Pada
saat Fana dalam ber-zikir, bisa terjadi apa yang dinamakan “Majdzub”.
Pada saat majdzub, hilang kesadaran manusiawinya. Dan, keadaan Fana
ini bukan hanya terjadi pada saat duduk ber-zikir. Tidak demikian!
Fana bisa terjadi ketika lagi berjalan, atau beraktivitas.
Dengan
tidak disadarinya, muncul ucapan “Subhani”,
Mahasuci Aku. Ana Al-Haqq, Saya
adalah Yang Mahabenar. Dan, berbagai ucapan lainnya, yang sepatutnya
itu ucapan Tuhan. Itu, memang ucapan Tuhan. Orang yang majdzub itu
hanyalah alat bagi Tuhan yang hendak memuji diri-Nya. “Dalam
arti hakiki, hilang sirnalah (Fana) segala Af’al hamba dan seluruh
makhluk ini. Yang tampak dan jelas adalah Af’al Allah swt”.
Kesimpulan itu adalah suara batin dengan penuh kejujuran. Bukan
karena ujaran guru dan Kitab, bukan pula karena kata si ‘Arif atau
Waliulloh’. Semua guru, kitab-kitab dan ucapan-ucapan para ‘Arif
hanyalah penuntun dan penunjuk jalan ke arah itu.
‘FAMINHU
KHOIRU WASSYARU WANNAF’U WADDHURRU WAL’IMANU WAL’KUFRU’ (Maka
dari Dialah (Allah); kebaikan dan keburukan, manfaat dan mudarat,
iman dan kufur).
Imam Al-Ghazali :
‘Minhajul ‘Abidin
Didalam
hadist qudsi di sebutkan :
ﻤـﺎاﺗـﻘـﺮبااﻠﻲاﻠﻤﺗـﻘـﺮﺒـﻮﻥ
ﺒـﻤـﺜـﻞاﺪاﺀ ﻤﺎاﻓـﺗﺮﻀﺖ ﻋـﻠﻴـﻬـﻢ
ﻮﻻﻴـﺰاﻞ اﻠﻌﺒـﺪﻴـﺗـﻘﺮﺐاﻠﻲ
ﺒﺎﻠﻧﻮاﻓﻞ ﺤـﺗﻰاﺤـﺒـﻪ ﻓﺎﺀ
ﺬااﺠـﺒﻠـﺗـﻪ ﻜـﻧـﺖ ﺴـﻤـﻌـﻪاﻠـﺬﻱ
ﻴﺴﻤـﻊﺒـﻪ ﻮﺒﺼﺮﻩاﻠﺬﻱ ﻴﺒﺼﺮﺒـﻪ
ﻮﻠﺴﺎ ﻧـﻪاﻠﺬﻱ ﻴـﻧﻃﻖ ﺒـﻪ ﻮﻴﺪﻩاﻠﺗﻰ
ﻴـﺒﻃﺶ ﺒـﻬﺎﻮﺮﺠﻠـﻪاﻠﺗﻲ ﻴـﻤﺷﻰ
ﺒﻬﺎ ﻮﻗﻠﺒـﻪاﻠﺬﻱ ﻴـﻀﻤﺮﺒـﻪ
“MA
ATAQARRABA ILAYYAL MUTAQARRIBUNA BIMISTLI ADA’I
MAFTARADLTU’ALAIHIM, WALA YAZALUL’ABDU YATAQARRABU ILAYYA BIN
NAWAFIL, HATTA UHIBBAHU, FA IDZA AHBABTUHU KUNTU SAM’AHULLADZI
YASMA’U BIHI WABASHARAHUL LADZI YUBSHIRU BIHI WA LISANUHUL LADZI
YANTHIQU BIHI WAYADAHUL LATI YABTHISYU BIHA WA RIJLAHUL LATI YAMSYI
BIHA WA QALBAHUL LADZI YADLMIRU BIHI”
Artinya
:
Orang-orang
yang merasa dekat kepada-KU, tidak hanya melaksanakan apa yang aku
fardhukan kepada mereka, malah si hamba itu merasa dekat kepadaku
dengan melaksanakan amal-amal Nawafil (tambahan) hingga akupun
mencintainya. Apabila AKU sudah mencintainya, Aku-lah menjadi
pendengarannya yang dengan itulah dia mendengar, Aku-lah yang
menjadi matanya untuk melihat, Aku-lah yang menjadi tangannya untuk
menggenggam, Aku-lah yang menjadi kakinya untuk berjalan, dan Aku
pulalah yang menjadi hatinya yang dengan itu ia dapat berfikir dan
bercita-cita. (Riwayat Imam Bukhari).
Dengan
penjelasan dalil diatas benar-benar sang hamba tersebut menjadi alat.
Namanya saja “alat” ya tergantung yang menggunakannya. Cuma alat
yang berbentuk manusia. Dalam Injil Yohanes 5 : 19, disebutkan bahwa
Nabi Isa (Yesus) bersabda : “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya
anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari dirinya sendiri, jikalau ia
tidak melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa,
itu juga yang dikerjakan anak”. Pada ayat 5 : 30 juga
disebutkan, “Aku tidak bisa berbuat apa-apa dari diriku sendiri,
Aku menghakimi sesuai dengan apa yang aku dengar, dan penghakimanku
adil, sebab aku tidak menuruti kehendak (Nafsuku) sendiri, melainkan
kehendak Dia yang mengutus aku”.
Didalam
Al-Qur’an :
ﻮﻴﻧﻄﻖﻋﻦ
ﻠﻬﻮﻯ ﺍﻦﻫﻮﺍﻻﻮﺤﻲ ﻳﻮﺤﻰ ـ ﺍﻠﻧﺠﻢ؛٣ـ٢
WAYANTHIQU ANIL HAWA INHUWA ILA WAHYUN YUHA (Q.S.
AN-NAJM : 2-3)
Dan temanmu (Muhammad)
itu, tidaklah sesat apalagi keliru. Apa yang diucapkannya itu berasal
dari Tuhan-Nya, bukan kehendak (nafsu-nya) sendiri.
Dari Syekh Sayidina Abi
Abdullah Muhammad bin Sulaeman Aliazli r.a. di katakana :
WALLAHU KHOLAQOKUM
WAMAA YA’MALUNA WA LA YASHDURU MIN AHADIN MIN A’BIYDIHI QOWLUN WA
HARAKATUN WASYUKUNUN ILLA QOD SYABAQO FI I’LMIHI WA QODHOO I’HI
WA QODARIHI
Artinya :
Dan Allah yang telah
menciptakan kamu, dan menciptakan apa yang kamu lakukan, tak ada
seorangpun diantara hamba-hambaNya yang melahirkan ucapan, perbuatan,
gerak ataupun diam, melainkan sudah ada lebih dahulu pada ilmu-Nya
Qodho dan Qodar-Nya.
Orang
yang tidak mengerti Ma’rifat biasanya menolak kejadian madjzub.
Mereka tidak mau tahu adanya hadist atau dalil-dalil tersebut. Mereka
tidak tahu bahwa Nabi Muhammad pun sering mengalami madjzub di depan
istri-istri beliau. Misalnya, dihadapan Siti Aisyah. Nabi pun pernah
bersabda “ANA AHMAD BI LA
MIM”, (Saya Ahmad tanpa mim). Artinya apa? Ahad!
Dalam bahasa awam, itu berarti Nabi menyebut dirinya Tuhan. Tapi,
karena para sahabat termasuk istri-istri beliau sudah di didik
tentang hal-hal yang sifatnya spiritual, makanya tidak timbul
kekacauan pandangan di tengah masyarakat. Atau juga seperti yang
telah diperbuat oleh Maulana Ibnu Ar-Arabi, dimana dia berujar “Ana
Arrabi bi la ain”,
“Saya Arrabi tanpa huruf Ain”, artinya apa ? Rabbi! Dalam
bahasa awam, itu berarti Ibnu Arrabi telah menyebut dirinya Tuhan.
Dalam
Injil Yohanes Pasal 14 ayat 6, Nabi Isa (Yesus) berkata kepada
muridnya Tomas, “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup. Tidak ada
seorang pun yang datang kepada Bapa (Tuhan), kalau tidak melalui
aku”.
Bagi
mereka yang sudah memahami makrifat, tidak akan heran terhadap sabda
Kanjeng Nabi Isa tersebut. Tak ada orang makrifat menyebut orang lain
Tuhan. Bahkan Syekh Siti Jenar pun tidak pernah menyuruh orang lain
menyebut dirinya Tuhan. Mengapa? Karena tingkat makrifat setiap orang
bisa menjadi manifestasi Tuhan. Jadi, sebutan “ingsun Allah”,
“saya ini Allah”, tidak berarti memper-Tuhan-dirinya, atau
menyuruh orang lain menyebut dirinya sebagai Tuhan. Itulah kesadaran
orang yang lagi majdzub. Itulah sebabnya Kanjeng Nabi Isa pun
mengatakan itu di depan muridnya [Tomas]. Bukan sebagai deklarasi
tentang ketuhanan beliau di depan orang banyak.
Setelah
tahap Fana tercapai, maka dirinya akan terserap oleh Tuhan. Masuk ke
dalam wilayah ketuhanan. Secara otomatis memasuki keadaan Baqa
alias baka. Yaitu, memasuki alam kekekalan. Di alam ini
pengalaman orang satu dengan yang lainnya akan sama. Itulah sebabnya
semua nabi merasa melihat sesuatu yang sama. Mereka melihat kebenaran
yang sama. Makanya, tidak ada nabi yang satu konflik dengan nabi
lainnya. Masing-masing menerima kodrat kenabiannya. Tanpa melakukan
klaim bahwa dirinyalah Nabi yang benar sedang nabi lainnya salah.
Lihatlah,
Kanjeng Nabi Musa tidak pernah menyalahkan nabi yang lain setelah dia
mencapai tahap baka, Yaitu setelah bertemu Nabi Hidir. Tak ada
seorang nabi pun yang di cela oleh Kanjeng Nabi Isa di dalam Injil.
Kabjeng Nabi Muhammad pun tak akan mencela nabi dan rasul lainnya.
Tak pernah menyalahkan ajaran para nabi lainnya. Termasuk tidak
menyalahkan Musailamah. Justru Musailamah yang merasa tersaingi
kenabiannya oleh Nabi Muhammad. Ya, siapa saja yang mengaku sebagai
nabi tapi masih menyalahkan naibi-nabi lainnya, jelas dia bukan nabi.
Wali sejati pun tidak pernah menyalahkan wali lainnya. Tidak
mengusik ajaran yang disampaikan oleh wali lainnya. Mengapa? Karena
dia menyadari bahwa kebenaran itu datangnya dari Tuhan yang sama
[AL-HAQU MIRABBIKUM]. Lha, masa ajaran wali lain diprotes. Bukankah
wali sejati sudah sampai tahap baka? Orang yang sudah sampai pada
tahap ini tidak ada lagi perasaan dengki. Karena kedengkian itu
perbuatan setan. Wali sejati itu wahananya Tuhan. Disebutkan di dalam
Al-Qur’an bahwa para wali Allah, karena keimanan dan ketakwaan
mereka, maka mereka tak tersentuh ketakutan dan penderitaan dalam
hidupnya. [INNA AWLIYAA A’LLAHI LAA KHAUFUN A’LAIYHIM WA LAHUM
YAHZANUN Q.S. 10 : 62].
Keimanan
bukan semata-mata karena kepercayaan. Tetapi buah dari Ma’rifatnya.
Sedangkan ketakwaan bukan hanya di bibir. Tapi, benar-benar wujud
dari zikirnya kepada Tuhan yang di amalkan setiap saat. Tahap Fana
sudah di lalui. Tahap baka dimasukinya. Akhirnya dia melihat
hakikatnya sesuatu. Jika sudah demikian apanya yang perlu ditakutkan?
Apanya yang perlu di khawatirkan? Semua penderitaan lenyap, karena
Tuhan sendiri yang menjaganya. Ia bisa hidup tanpa tergantung pada
orang lain, karena Tuhan sendiri yang menjadi gantungannya. Ia bisa
memecahkan persoalan hidup ini karena Tuhan sendiri yang
mengajarinya. Intinya setelah seseorang bisa mencapai tahap Fana dan
Baka, maka sebenarnya dia telah menemukan pusat dirinya. Dia sudah
menemukan Kabah/Mekah sejatinya. Dia sudah mengenal Dirinya. Dia
sudah sampai pada Al-Haqq. Tahap akhir sepiritualnya! Tak
secuil pun pikiran ikut mempengaruhi perilakunya. Tak ada rekayasa
yang timbul dari hawa nafsunya. Semua perilakunya adalah manifestasi
Tuhan.
izin copas gan
BalasHapusHu Alloh
BalasHapusJazakumulloh Khoiron Katsir.. Salam ukhuwah Fillah abada
BalasHapus